Cinta Itu Abstract

Rabu, 18 April 2012

Lemah Syahwat

Disebutkan dalam Hadits berikut :
‘Umar bin Khattab berkata tentang suami yang lemah syahwat: ” Dia diberi tempoh satu tahun. Jika dapat sembuh, (perkawinannya bisa diteruskan); dan jika tidak, mereka boleh diceraikan dan isterinya mendapatkan mahar dan harus ber’iddah.” (H.R. Baihaqi)
Penjelasan :
Lemah syahwat ialah ketidakmampuan seorang laki-laki untuk memenuhi keperluan biologi isteri. Memenuhi keperluan biologi hanyalah dibenarkan melalui perkahwinan.
Maksud hadits di atas ialah istri yang memiliki suami yang mengidap lemah syahwat berhak mengajukan perceraian jika penyakit suaminya tidak bisa disembuhkan.
Seorang suami berkewajiban memenuhi kebutuhan biologis istrinya, karenanya dia harus kuat syahwat. Tanpa memiliki kekuatan syahwat, tuntutan biologis istri tidak akan dapat terpenuhi. Hal ini menjadi perhatian dalam syariat


Islam karena dalam perkawinan ada keharusan untuk saling memenuhi tuntutan biologis merupakan salah satu faktor terciptanya suasana bahagia suami istri.
Seorang perempuan muslim perlu memperhatikan sisi kemampuan syahwat calon suaminya supaya kelak dalam menempuh kehidupan rumah tangga tidak terjadi perselisihan dan pertengkaran. Bilamana suaminya lemah syahwat, hal ini tentu akan merugikan dirinya.
Bagi seorang suami, karena adanya kesempatan untuk berpoligami, terjadinya kelemahan syahwat pada istrinya dapat dikompensasi dengan mengambil perempuan lain sebagai istri barunya. Akan tetapi, bagi seorang perempuan
muslim, hal semacam ini tidak bisa dilakukan. Pilihan yang bisa diambil ialah menerima keadaan suami atau bercerai. Untuk itulah, perlu sekali adanya pemilihan selektif terhadap laki-laki yang hendak menjadi suaminya.
Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan, sebelum seorang perempuan muslim mengikat diri dengan seorang laki-laki muslim sebagai suami istri, ia perlu meneliti kemampuan syahwat calon suaminya. Agar dapat mengetahui seberapa jauh kesehatan dan kemampuan syahwat yang bersangkutan, dapat diadakan penyelidikan dengan cara-cara antara lain:
1. Menanyakan kepada yang bersangkutan tentang keadaan dirinya. Sudah tentu yang bersangkutan harus memberi jawaban dengan jujur atau mengambil sumpah dengan nama Allah. Jika ternyata ia berdusta, ia harus berani menanggung resiko atas kebohongannya kelak. Cara ini memang ini kurang efektif, namun sebagai muslim cara ini menumbuhkan tanggung jawab akhirat jauh lebih berat bagi yang bersangkutan. Jika dia berbohong, dosanya
tidak hanya kepada perempuan yang menjadi istrinya, tetapi juga kepada Allah. Allah kelak akan menjatuhkan hukumannya di akhirat.
2. Meminta yang bersangkutan untuk melakukan ujian kesihatan seksual, apakah ia termasuk orang yang lemah syahwat atau normal.
Karena dalam perkawinan keperluan seksual atau biologis merupakan hal mutlak, baik bagi suami maupun istri, para perempuan muslim tidak boleh merasa malu untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan syahwat calon
suaminya. Kalau hal ini tidak diketahui secara dini, kemungkinan kelak akan terjadi masalah pada diri yang bersangkutan, sehingga boleh jadi ia akan merasa tertipu dan mengalami trauma untuk bersuami. Supaya tidak
terjadi akibat buruk semacam ini, perlulah para perempuan muslim sejak awal mengetahui kondisi seksual calon suaminya. Jika ternyata ia orang yang lemah syahwat, lebih baik ia menolak lamarannya suapaya tidak merugikan dirinya.
Para perempuan muslim harus menyadari bahwa kebutuhan biologis bukan semata-mata untuk dirinya, melainkan juga untuk mendapatkan keturunan, sebab perkawinan disyari’atkan oleh Islam terutama bertujuan untuk menjadi
sarana pengembangbiakan jenis manusia secara halal di muka bumi. Hal ini hanya bisa dilakukan bilamana suami dapat melakukan fungsi biologisnya kepada istrinya dengan baik. Oleh karena itu, pilihlah suami yang tidak lemah syahwat.
Berdasarkan hadith di atas, maka kita manusia hendaklah berusaha agar rumah tangga kita bahagia dan kita dapat hidup sempurna sebagai seorang lelaki sejati.


0 ulasan:

Catat Ulasan